Monday, August 15, 2011

Mendamba Pemerintahan Demokratis

Demokrasi menyediakan konsep representasi kekuasaan yang bermakna bahwa setiap elite politik yang dipilih, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif, harus memperjuangkan suara masyarakat umum.
Mekanisme representasi kekuasaan tersebut sering disebut sebagai pemerintahan demokratis (democratic governance).Mekanisme dalam pemerintahan demokratis secara substansial berlangsung pada proses interaksi timbal balik antara elite politik dalam kekuasaan, dan masyarakat luas.

Pemerintahan demokratis tentu saja adalah dambaan rakyat Indonesia. Namun, demokrasi multipartai Indonesia sedang menyajikan fenomena perilaku para elite politik yang jauh dari upaya merealisasikan pemerintahan demokratis. Sebaliknya, mereka mempraktikkan satu manipulasi politik ke manipulasi lainnya. Tujuan utamanya mencuri kekayaan negara.

Politisi Manipulatif
Pemerintahan demokratis selalu disemai oleh komunikasi timbal balik secara transparan, inklusif, dan bebas dominasi yang difasilitasi para elite politik. Para elite politik yang mengupayakan praktik pemerintahan demokratis akan menciptakan peluang-peluang terelaborasinya pendapat dan gagasan secara dialektis konstruktif dengan masyarakat.

Karena itu, terkreasilah proses politik yang disarati dinamika perbedaan konseptual, tetapi mampu menciptakan formulasi kebijakan yang diamini bersama karena sifat kebaikan umumnya. Pada interaksi pemerintahan di tingkat nasional, komunikasi tatap muka yang melibatkan seluruh aktor memang sulit.
Namun, suara-suara masyarakat yang ditransmisikan di ruang publik oleh media massa mampu membangun dimensi interaksi pemerintahan secara luas dan intensif. Selain harus “turun ke bawah” menemui langsung masyarakat, para elite politik perlu rajin membaca media massa dan melakukan penelitian harapan umum masyarakat tentang kebijakan pemerintahan.

Bagi elite politik yang memiliki integritas terhadap tugas-tugas konstitusionalnya, pendapat dan harapan masyarakat yang dikomunikasikan di ruang publik akan direspons atau diperjuangkan. Seperti harapan masyarakat tentang kebijakan yang berfokus pada pembangunan infrastruktur nasional, penciptaan sistem jaminan sosial bagi rakyat, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, sampai harapan tentang sistem perizinan usaha yang tidak berbelit.

Namun saat ini pada kenyataannya, para politisi yang memiliki posisi dalam struktur kekuasaan telah lepas dari integritas konstitusional. Mereka yang didaulat sebagai pemimpin dalam struktur kekuasaan tersebut sering kali mempraktikkan politik manipulatif secara kolektif di dalam proses interaksi pemerintahan demokratis.

Jika kita meminjam istilah Bart Westerweel (1997), mereka telah melakukan kebohongan kekuasaan (political fable) secara sistematis dalam praktik pemerintahan. Bentuknya dengan menyimpangkan nilai dan prinsip kepentingan umum menjadi kepentingan sempit.

Para politisi dan politik manipulatifnya itu rajin membombardir ruang publik dengan wacana-wacana tentang kepentingan rakyat dalam setiap kebijakan negara.Namun pada banyak keputusan politik mereka tentang kebijakan pembangunan, sering kali memarjinalisasi konsep kebaikan bersama dan kepentingan umum.
Kasus terakhir yang jadi sorotan publik adalah praktik korupsi yang diduga dilakukan M Nazaruddin dalam kasus gedung Wisma Atlet SEA Games di Palembang. Masyarakat semakin mendapatkan bukti empiris bahwa politisi dalam struktur kekuasaan, terutama di DPR,melakukan manipulasi politik demi keuntungan bagi dirinya sendiri.

Persepsi masyarakat tentang politik manipulatif pun mulai meluas ke pemerintahan eksekutif. KPK, yang dianggap bagian dari lembaga eksekutif bidang pemberantasan korupsi, terkesan lamban dalam persepsi publik.Satuan TugasAnti Mafia Hukum pun seolah jalan di tempat.

Imbas dari persepsi masyarakat tentang para politisi yang manipulatif tampaknya diwujudkan dalam hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu yang memperlihatkan penurunan kepercayaan sangat besar pada partai politik yang menjalankan roda kekuasaan negara.

Penguatan Peran Masyarakat
Para politisi dengan politik manipulatifnya menjadi jurang gelap penghalang terciptanya kebijakan negara yang berorientasi pada kepentingan umum.Fenomena ini memberi kesimpulan miris bahwa para politisi nasional mengalami krisis kepemimpinan.

Padahal, kepemimpinan adalah kapasitas mengelola kekuasaan secara bijaksana dengan melandaskan pada prinsip-prinsip kebaikan umum sebagaimana tercermin di dalam konstitusi Republik Indonesia. Krisis kepemimpinan para elite politik yang melanda Republik ini merupakan salah satu sumber mengapa kekuasaan demokratis tidak berjalan optimal.

Sebagaimana Pierre Rosanvallon (Counter Democracy, 2008), melalui risetnya tentang praktek demokrasi dunia,melihat bahwa di banyak negara demokrasi tampak masih belum berhasil. Ketidakberhasilan tersebut ditandai banyaknya kebijakan tak berbasis pada aspirasi masyarakat dan tingginya tingkat korupsi para elite politik.

Kondisi tersebut bersumber pada dominannya elite’s rule (dominasi elite politik) atas berbagai kebijakan negara. Mereka enggan mendengar suara masyarakat. Menurut Rosanvallon, jalan satu-satunya mendobrak elite’s rule adalah memperkuat peran masyarakat dalam partisipasi politik demokrasi.

Merujuk pendapat Rosanvallon, peran masyarakat Indonesia dalam demokrasi tampaknya belum sampai pada level “memaksa” para elite politik mendengarkan suara mereka. Sering kali masyarakat menganggap fenomena politik seperti infotainment semata, hanya riuh diperbincangkan sesaat setelah itu hilang.

Masyarakat perlu terus menyuarakan tuntutan atas suatu kebijakan negara dan kontrol atas perilaku para elite politik. Masyarakat harus menyadari bahwa selalu dibutuhkan kesabaran dan intensitas menciptakan pemerintahan demokratis yang bersih dari praktik politik manipulatif dan korupsi.
Dengan begitu, dambaan untuk memiliki pemerintahan demokratis yang mampu menyejahterakan rakyat bisa terealisasi (Sumber: Harian Seputar Indonesia, 17 Juni 2011)

Tentang penulis:
Novri Susan, Sosiolog Unair 

sumber: Koran Seputar Indonesia, 16 Juni 2011

Thursday, August 11, 2011

Kolektivisme dan Kekerasan Pemilihan Kepala Daerah Papua

TEMPO Interaktif, 10 Agustus 2011

Konflik kekerasan di Papua dalam arena pemilihan pemimpin politik di tingkat otonomi daerah kabupaten/kota kembali memberi warna kelam pada pemilihan kepala daerah 2011. Diberitakan oleh media bahwa konflik kekerasan pilkada Papua yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Pinai, dan Tanjakan Gunung Merah telah menyebabkan korban tewas 19 orang (Tempointeraktif, 1 Agustus). Isu yang menjadi pemicu konflik kekerasan tersebut adalah pencabutan dukungan Ketua Partai Gerindra terhadap salah satu kandidat bupati. Akibatnya, kekecewaan muncul dalam bentuk mobilisasi massa pendukung kandidat bupati dengan aksi kekerasan terhadap massa lain.

Isu, model mobilisasi massa, dan akibat konflik kekerasan pilkada di Papua bukan merupakan fenomena baru dalam pelaksanaan pilkada di daerah-daerah di Indonesia. Pada konteks masyarakat rentan konflik di daerah-daerah di Indonesia, pilkada sering kali diwarnai konflik kekerasan. Sayangnya, konteks masyarakat rentan konflik dalam pilkada tidak diikuti oleh negara dengan penanganan sistematis faktor sosiologis konflik kekerasan. Maka sering terjadi eskalasi kekerasan yang menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan korban jiwa dalam proses pelaksanaan pilkada di daerah-daerah.

Kolektivisme konflik
Konflik berarti terciptanya perbedaan kepentingan di antara kelompok sosial dalam memperebutkan sumber daya terbatas tertentu yang ditandai oleh mobilisasi gerakan. Mobilisasi gerakan konflik memiliki tujuan meraih sumber daya terbatas, seperti posisi kekuasaan, harta, dan kekayaan alam. Pada dimensi konflik massal atau antarkelompok sosial, setiap gerakan konflik selalu membutuhkan kolektivisme berupa identitas, keyakinan definisi siapa pihak lawan dalam konflik, dan kepemimpinan dalam kelompok (in-group). Dengan demikian,  pada konteks pilkada yang berkaitan dengan kontestasi perebutan kekuasaan, konflik yang muncul di dalamnya sering kali dibarengi oleh polarisasi kepentingan untuk meraih sumber daya dalam bentuk posisi kekuasaan, yang diperjuangkan melalui gerakan kolektivisme konflik tiap kelompok.

Konflik merupakan realitas yang alamiah dalam dunia masyarakat manusia. Namun bagaimana gerakan konflik kelompok sosial memilih cara menyelesaikan dan mengakhiri konflik sangat dipengaruhi oleh model kolektivisme. Paling tidak terdapat dua kutub berlawanan dari model kolektivisme, yaitu kolektivisme inklusif dan eksklusif. Pada kolektivisme inklusif, individu yang menjadi anggota dalam suatu kelompok bisa berkomunikasi secara terbuka dengan praktek dialog dan negosiasi atau mekanisme yudisial. Identitas cenderung lentur, dan hubungan dengan pemimpin tidak bersifat imperatif, tapi diskursif. Maka proses mendefinisikan siapa lawan dalam konflik sering berlangsung secara hati-hati dalam proses analisis kolektif. Kolektivisme inklusif ini cenderung hadir dalam masyarakat perkotaan menengah ke atas yang mapan secara ekonomi dan berpendidikan.

Adapun pada kolektivisme eksklusif, individu anggota menghindari berkomunikasi secara terbuka dalam dialog dan negosiasi dengan kelompok lain. Identitas merupakan definisi yang mutlak sebagai kebenaran, yang memandang kelompok lain dalam posisi salah atau buruk dari kerangka persepsi kelompok. Hubungan individu anggota dan pemimpin adalah imperatif yang bisa juga pada level represif. Maka siapa yang dipandang lawan dalam konflik sering kali ditentukan oleh proses instruksional pemimpin. Sekali pemimpin menyebut kelompok tertentu sebagai musuh, maka seluruh anggota akan melakukan mobilisasi gerakan konflik melawan kelompok tersebut. Dengan demikian, menurut Korotelina dalam Identity Conflicts (2009), kecenderungannya kolektivisme eksklusif lebih memilih konfrontasi dan cara kekerasan yang menolak komunikasi terbuka. Kolektivisme eksklusif biasanya masih kuat dalam masyarakat yang tidak mapan secara ekonomi (miskin) dan kurang terdidik oleh pendidikan modern.

Seharusnya konflik kekerasan pilkada di Papua akhir Juli lalu sudah bisa diprediksi pemerintah. Masyarakat Papua sampai detik ini masih kuat dengan kolektivisme eksklusifnya. Berbagai kelompok etnis di dalamnya cenderung menutup komunikasi terbuka dan memilih cara kekerasan dalam konflik berbagai dimensi, termasuk konflik pilkada. Sayangnya, belum ada penanganan serius atas masalah kolektivisme eksklusif ini oleh pemerintah sehingga menyebabkan situasi konflik pilkada, umumnya dimensi konflik lainnya, sering dirobek oleh kekerasan.

Penanganan sistematis
Lembaga kepolisian, melalui Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, menyatakan konflik kekerasan di Papua akhir-akhir ini sudah biasa terjadi karena masyarakatnya yang bertemperamen tinggi. Nanti, menurut kepolisian, konflik bisa diselesaikan melalui mekanisme adat sebagaimana masyarakat Papua biasa melakukannya (Tempointeraktif, 2 Agustus). Sayang sekali, pernyataan tersebut mengindikasikan lembaga kepolisian pun belum menyadari fakta kolektivisme eksklusif yang seharusnya ditangani secara transformatif. Dalam konteks konflik kekerasan yang tercipta karena negara tidak berhasil mencegah dan menanganinya, jatuh korban bukan merupakan kejadian biasa yang bisa dimafhumi begitu saja. Idealnya, lembaga-lembaga pemerintah memiliki dan mengimplementasikan konsep yang mentransformasi konflik kekerasan masyarakat menjadi konflik damai berbasis dialog dan mekanisme yudisial.

Jika kolektivisme eksklusif masih merupakan realitas sosial masyarakat Papua, dan secara umum masyarakat lain di Indonesia, pemerintah perlu menciptakan program khusus, selain penguatan keamanan oleh lembaga kepolisian, yaitu program yang bisa mengubah kolektivisme eksklusif menjadi kolektivisme inklusif. Dengan begitu, konflik antarkelompok bisa berlangsung dinamis tanpa kekerasan. Lembaga-lembaga negara dari tingkat pusat dan daerah harus bekerja sama secara serius menciptakan program transformasi tersebut.

Beberapa bagian dalam program tersebut di antaranya sosialisasi pentingnya penggunaan mekanisme yudisial, pelatihan kepemimpinan dalam negara demokrasi bagi para pemimpin etnis (adat), dan pendidikan perdamaian untuk para pemuda. Namun program mentransformasi kolektivisme eksklusif tersebut harus dibarengi oleh komitmen negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sosial ekonomi. Pengangguran, kemiskinan, dan pendidikan yang rendah merupakan kondisi fundamental yang menyebabkan masyarakat sulit keluar dari kerangka kolektivisme eksklusifnya. Hal tersebut karena melalui kolektivisme eksklusiflah masyarakat miskin merasa bisa mengekspresikan frustrasinya secara kolektif. Maka, tanpa pembangunan sosial ekonomi yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan, kolektivisme eksklusif akan tetap kuat dalam sistem hidup masyarakat.

Pilkada di Papua, yang sudah merenggut korban jiwa sebagian masyarakatnya, merupakan bagian dari konflik yang dimobilisasi oleh kolektivisme eksklusif. Wilayah-wilayah lain yang memiliki model kolektivisme serupa, seperti Aceh dan Sulawesi, pada musim pilkada ini perlu diantisipasi serius oleh negara dengan mentransformasi kolektivisme eksklusif dalam masyarakat. Dengan demikian, pilkada bisa melahirkan proses konflik politik yang damai, aman, dan bermartabat.

*) Novri Susan, Sosiolog Konflik Universitas Airlangga, dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia

sumber: http://ramadan.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/08/10/kol,20110810-429,id.html

Tuesday, August 9, 2011

Negara Mabuk

Oleh Novri Susan
 
Makin lemah negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, makin rentan masyarakat oleh menjamurnya kekerasan sosial. Bila negara tak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat—pangan, identitas, pengakuan sosial, dan keamanan—akan muncul gerakan individu atau masyarakat mengambil alih dengan caranya sendiri. Cara yang cenderung muncul adalah praktik liar yang menegasi norma dan hukum negara:
perampokan, penodongan, pemerasan, bahkan separatisme.

Adalah fakta selama ini bahwa negara yang direpresentasikan lembaga-lembaga kekuasaan tak berbuat banyak memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kebijakan negara banyak bertentangan dengan kepentingan umum dan hukum negara hanya memberi keadilan kepada yang bisa membeli. Kita seperti hidup di negara mabuk yang kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan.

Desakralisasi demokrasi
Kekuasaan negara di Indonesia adalah hasil implementasi demokrasi melalui pemilu yang diakui dan dikagumi dunia internasional. Sebagai bukti, pada 2007 Indonesia meraih penghargaan dari Asosiasi Konsultan Politik Internasional sebagai negara demokratis. Pujian para pemimpin dunia sering muncul di podium resmi kenegaraan. Namun, pada dasarnya mereka berada di luar kehidupan politik Indonesia, hanya melihat kulit kekuasaan yang dibalut pakaian indah demokrasi bernama pemilu.

DPR, presiden, dan lembaga hukum sebagai perwujudan negara demokrasi sesungguhnya tak benar-benar demokratis sebab elite kekuasaan terlepas dari rakyat sebagai sumber kekuasaannya. Mereka kini menggunakan kekuasaan semaunya menyangkut kebijakan negara dan bagaimana hukum dilaksanakan.
Elite kekuasaan di negeri ini telah memutus ikatan transendental dengan rakyat yang meniupkan roh kekuasaan melalui pemilu, seperti antara Sang Pencipta dan hamba-Nya. Jika ikatan transendental itu masih kuat, tentu elite kekuasaan akan selalu mengikuti dan menaati suara umum rakyat. Namun, ikatan itu telah putus. Mereka yang ditiupkan roh kekuasaan telah berkhianat dengan menjadi penguasa-penguasa yang melawan rakyat. Mereka seperti Lucifer, malaikat yang melawan Tuhan di surga.

Itu sebabnya berbagai praktik kekuasaan selalu bertentangan dengan rakyat. Pemutusan ikatan transendental dengan rakyat bisa dilihat dari meruaknya praktik jahat selama ini di dalam negara. Korupsi M Nazaruddin hanya setitik kasus terbaru dari menyemutnya kasus praktik jahat kekuasaan di Indonesia.
Saat ikatan transendental elite kekuasaan dengan rakyat terputus, menurut James Hovard dalam Desacralizing Democracy to Save Liberty (2010), demokrasi mengalami desakralisasi. Demokrasi telah didangkalkan dari maknanya sebagai sistem dan nilai yang menjadi penghubung antara rakyat sang peniup roh kekuasaan dan para elite sang hamba.

Pemilu telah melahirkan elite kekuasaan yang menentang kehendak umum rakyat tentang kemaslahatan. Saat bersamaan rakyat tak mampu mengendalikan elite kekuasaan, entah karena apatis, entah karena gagal menyuarakan tuntutannya sehingga putus asa. Akibatnya, sebagian rakyat berhalusinasi bahwa hidup di masa Orde Baru lebih menyenangkan ketimbang di masa demokrasi yang terdesakralisasi ini.

Entropi kekuasaan
Pengabaian negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat itu menciptakan entropi kekuasaan, yaitu kerusakan sistem kekuasaan. Entropi kekuasaan mengakibatkan legislatif tak menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan secara optimal, pemerintah eksekutif bekerja lamban mengatasi kemiskinan dan perlindungan sosial, dan lembaga hukum tidak menegakkan hukum secara transparan dan adil. Maka, rakyat seperti hidup di negara mabuk.

Menurut Pierre Rosanvallon pada Counter Democracy (2008), entropi kekuasaan selalu meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat kepada kekuasaan. Rakyat tak lagi merasa terwakili oleh para legislator dan presiden yang mereka pilih langsung dalam pemilu. Peningkatan ketidakpercayaan ini menemukan pengalaman empirisnya pada kehidupan sehari-hari: miskin, lapangan kerja sempit, hingga lemahnya perlindungan terhadap eksistensi identitas oleh negara.

Ketidakpercayaan kepada negara merupakan kimia sosial dari berbagai individu atau kelompok sosial untuk mengubah dirinya menjadi ”pejuang liar”. Mereka berupaya memenuhi kebutuhan dasar dengan cara sendiri dan tidak merasa perlu lagi hormat pada aturan negara yang mengharuskan mereka tak mencuri, tak merampok, tak berjudi, atau tak menjadi kurir jual beli narkotika. Jalan utama mengembalikan ikatan transendental antara elite kekuasaan dan rakyat adalah menghapus kekerasan yang meneror negeri.

Novri Susan Pengajar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/06/23/03005625/Negara.Mabuk.Kekerasan 

Presiden di Titik Nol Kekuasaan

Oleh Novri Susan (Sosiolog Unair dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia)

Ruang publik Indonesia mengalami eskalasi kegelisahan atas kondisi negara yang semakin parah karena digerogoti oleh jejaring parasit pembangunan, seperti mafia hukum, politikus korup, dan pejabat lemah integritas.
Jejaring parasit tersebut mengacak-acak sistem demokrasi melalui praktik suap, manipulasi hukum dan kebijakan negara. Salah satu tujuannya, mencuri kekayaan negara yang mestinya dimanfaatkan untuk pendanaan pembangunan nasional.

Pada kondisi ini, di manakah kekuasaan eksekutif presiden? Rakyat tak merasakan hadirnya presiden yang seharusnya mengoptimalkan sumber daya kekuasaan eksekutifnya untuk menyelamatkan negara dari jejaring parasit pembangunan. Rakyat melihat presiden seolah ada di titik nol kekuasaan. Tak bisa berbuat apa-apa; terlihat loyo di hadapan jejaring parasit pembangunan yang kian percaya diri menggerogoti negara.

Sosok pemimpin negara bisa disebut punya kekuasaan transformatif ketika tak ragu memanfaatkan sumber kekuasaannya untuk melakukan perubahan pada kondisi yang dianggap lebih ideal. Ketidakraguan itu diindikasikan oleh reproduksi praktik politik kreatif dan tegas untuk mencapai perubahan yang divisikan. Sumber-sumber kekuasaan transformatif presiden di Indonesia paling tidak bisa ditemukan dari konstitusi dan legitimasi pemilu. Kedua sumber kekuasaan presiden perlu diterjemahkan secara kreatif ke dalam praktik politik tegas menghadapi jejaring parasit pembangunan.

Berhadapan dengan jejaring parasit pembangunan seperti Nunun Nurbaeti atau Nazaruddin, misalnya, presiden bisa memandatkan secara tegas kepada Kapolri dan Ketua KPK untuk segera menangkapnya dengan batasan waktu yang jelas. Melalui sumber kekuasaan konstitusinya, presiden bisa memberi Kapolri dan Ketua KPK sanksi jika gagal melaksanakan mandat itu.

Praktik politik presiden tersebut tak boleh sekadar imbauan, tetapi merupakan praktik politik konkret dan ketegasan seorang pemimpin negara yang memiliki kekuasaan eksekutif. Selama ini, ketika dituntut mengoptimalkan kekuasaan eksekutifnya kepada kepolisian, kejaksaan, atau KPK, Presiden SBY justru menolaknya dengan alasan harus mengikuti prosedur, sesuai mekanisme lembaga, atau taat pada konstitusi.

Secara normatif alasan-alasan tersebut benar, tetapi salah besar pada perspektif evaluasi tentang konstitusional atau tidak dari praktik politik presiden. Fakta legalnya, kepala dari lembaga-lembaga hukum tersebut diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada kekuasaan presiden. Langkah menekan mereka sebagai permintaan pertanggungjawaban tugas dari presiden adalah konstitusional.

Tanpa demarkasi
Fred R Dallmayr (The Promise of Democracy, 2010) secara pedas mengatakan, kekuasaan yang dihasilkan oleh demokrasi sering kali gagal menyelamatkan kondisi negara karena tidak segera menciptakan demarkasi tegas terhadap kekuatan politik jahat. Akibatnya, kekuasaan demokrasi sesungguhnya dimuati dan dipengaruhi oleh kekuatan politik jahat yang licin dan gesit.

Pada kondisi tersebut, kekuasaan demokrasi hanya mampu menciptakan ilusi tanpa harapan bagi rakyatnya. Kekuasaan menabur janji manis untuk menenangkan kegelisahan rakyat. Namun negara tetap berada dalam keadaan lemah atau gagal menciptakan kemakmuran rakyat karena digerogoti kekuatan politik jahat yang menyatu dengan kekuasaan demokrasi. Melalui teori Dallmayr, tampaknya SBY tak mampu mempraktikkan kekuasaan transformatif karena tak punya demarkasi dengan kekuatan politik jahat, termasuk di dalamnya dengan jejaring parasit pembangunan.

Faktanya, pemerintahan SBY melakukan koalisi politik tidak berdasarkan pada kesamaan visi menciptakan negara kuat demokratis, tetapi sebagai hasil dari transaksi politik yang sarat skandal kekuasaan. Bagaimana mungkin presiden mempraktikkan kekuasaan transformatif jika di dalam lingkaran kekuasaannya tumbuh kuat jejaring parasit pembangunan? Pada realitas inilah presiden memang berada di titik nol kekuasaan eksekutif, yang tidak mampu menciptakan negara kuat dan demokratis.

Pada kenyataannya, kekuasaan hasil demokrasi Indonesia sekarang ini tak memiliki demarkasi dengan kekuatan politik jahat, bahkan jejaringnya menyatu dalam lingkaran kekuasaan. Upaya membangun demarkasi jelas membutuhkan improvisasi radikal praktik politik presiden.

Misalnya, presiden harus berani memberikan komando penindakan tegas para elite politik dan pejabat semua lembaga yang terindikasi melakukan praktik korupsi tanpa pandang bulu. Perlawanan pasti akan muncul, apalagi jika presiden dianggap punya dosa malapraktik kekuasaan selama periode pemerintahannya. Namun, demi kepentingan menyelamatkan negara, presiden seharusnya berdiri paling depan menghadapi segala risiko. (*)

Sumber: KOMPAS, 1 Agustus 2011