Thursday, August 11, 2011

Kolektivisme dan Kekerasan Pemilihan Kepala Daerah Papua

TEMPO Interaktif, 10 Agustus 2011

Konflik kekerasan di Papua dalam arena pemilihan pemimpin politik di tingkat otonomi daerah kabupaten/kota kembali memberi warna kelam pada pemilihan kepala daerah 2011. Diberitakan oleh media bahwa konflik kekerasan pilkada Papua yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Pinai, dan Tanjakan Gunung Merah telah menyebabkan korban tewas 19 orang (Tempointeraktif, 1 Agustus). Isu yang menjadi pemicu konflik kekerasan tersebut adalah pencabutan dukungan Ketua Partai Gerindra terhadap salah satu kandidat bupati. Akibatnya, kekecewaan muncul dalam bentuk mobilisasi massa pendukung kandidat bupati dengan aksi kekerasan terhadap massa lain.

Isu, model mobilisasi massa, dan akibat konflik kekerasan pilkada di Papua bukan merupakan fenomena baru dalam pelaksanaan pilkada di daerah-daerah di Indonesia. Pada konteks masyarakat rentan konflik di daerah-daerah di Indonesia, pilkada sering kali diwarnai konflik kekerasan. Sayangnya, konteks masyarakat rentan konflik dalam pilkada tidak diikuti oleh negara dengan penanganan sistematis faktor sosiologis konflik kekerasan. Maka sering terjadi eskalasi kekerasan yang menyebabkan kerusakan fasilitas publik dan korban jiwa dalam proses pelaksanaan pilkada di daerah-daerah.

Kolektivisme konflik
Konflik berarti terciptanya perbedaan kepentingan di antara kelompok sosial dalam memperebutkan sumber daya terbatas tertentu yang ditandai oleh mobilisasi gerakan. Mobilisasi gerakan konflik memiliki tujuan meraih sumber daya terbatas, seperti posisi kekuasaan, harta, dan kekayaan alam. Pada dimensi konflik massal atau antarkelompok sosial, setiap gerakan konflik selalu membutuhkan kolektivisme berupa identitas, keyakinan definisi siapa pihak lawan dalam konflik, dan kepemimpinan dalam kelompok (in-group). Dengan demikian,  pada konteks pilkada yang berkaitan dengan kontestasi perebutan kekuasaan, konflik yang muncul di dalamnya sering kali dibarengi oleh polarisasi kepentingan untuk meraih sumber daya dalam bentuk posisi kekuasaan, yang diperjuangkan melalui gerakan kolektivisme konflik tiap kelompok.

Konflik merupakan realitas yang alamiah dalam dunia masyarakat manusia. Namun bagaimana gerakan konflik kelompok sosial memilih cara menyelesaikan dan mengakhiri konflik sangat dipengaruhi oleh model kolektivisme. Paling tidak terdapat dua kutub berlawanan dari model kolektivisme, yaitu kolektivisme inklusif dan eksklusif. Pada kolektivisme inklusif, individu yang menjadi anggota dalam suatu kelompok bisa berkomunikasi secara terbuka dengan praktek dialog dan negosiasi atau mekanisme yudisial. Identitas cenderung lentur, dan hubungan dengan pemimpin tidak bersifat imperatif, tapi diskursif. Maka proses mendefinisikan siapa lawan dalam konflik sering berlangsung secara hati-hati dalam proses analisis kolektif. Kolektivisme inklusif ini cenderung hadir dalam masyarakat perkotaan menengah ke atas yang mapan secara ekonomi dan berpendidikan.

Adapun pada kolektivisme eksklusif, individu anggota menghindari berkomunikasi secara terbuka dalam dialog dan negosiasi dengan kelompok lain. Identitas merupakan definisi yang mutlak sebagai kebenaran, yang memandang kelompok lain dalam posisi salah atau buruk dari kerangka persepsi kelompok. Hubungan individu anggota dan pemimpin adalah imperatif yang bisa juga pada level represif. Maka siapa yang dipandang lawan dalam konflik sering kali ditentukan oleh proses instruksional pemimpin. Sekali pemimpin menyebut kelompok tertentu sebagai musuh, maka seluruh anggota akan melakukan mobilisasi gerakan konflik melawan kelompok tersebut. Dengan demikian, menurut Korotelina dalam Identity Conflicts (2009), kecenderungannya kolektivisme eksklusif lebih memilih konfrontasi dan cara kekerasan yang menolak komunikasi terbuka. Kolektivisme eksklusif biasanya masih kuat dalam masyarakat yang tidak mapan secara ekonomi (miskin) dan kurang terdidik oleh pendidikan modern.

Seharusnya konflik kekerasan pilkada di Papua akhir Juli lalu sudah bisa diprediksi pemerintah. Masyarakat Papua sampai detik ini masih kuat dengan kolektivisme eksklusifnya. Berbagai kelompok etnis di dalamnya cenderung menutup komunikasi terbuka dan memilih cara kekerasan dalam konflik berbagai dimensi, termasuk konflik pilkada. Sayangnya, belum ada penanganan serius atas masalah kolektivisme eksklusif ini oleh pemerintah sehingga menyebabkan situasi konflik pilkada, umumnya dimensi konflik lainnya, sering dirobek oleh kekerasan.

Penanganan sistematis
Lembaga kepolisian, melalui Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Bekto Soeprapto, menyatakan konflik kekerasan di Papua akhir-akhir ini sudah biasa terjadi karena masyarakatnya yang bertemperamen tinggi. Nanti, menurut kepolisian, konflik bisa diselesaikan melalui mekanisme adat sebagaimana masyarakat Papua biasa melakukannya (Tempointeraktif, 2 Agustus). Sayang sekali, pernyataan tersebut mengindikasikan lembaga kepolisian pun belum menyadari fakta kolektivisme eksklusif yang seharusnya ditangani secara transformatif. Dalam konteks konflik kekerasan yang tercipta karena negara tidak berhasil mencegah dan menanganinya, jatuh korban bukan merupakan kejadian biasa yang bisa dimafhumi begitu saja. Idealnya, lembaga-lembaga pemerintah memiliki dan mengimplementasikan konsep yang mentransformasi konflik kekerasan masyarakat menjadi konflik damai berbasis dialog dan mekanisme yudisial.

Jika kolektivisme eksklusif masih merupakan realitas sosial masyarakat Papua, dan secara umum masyarakat lain di Indonesia, pemerintah perlu menciptakan program khusus, selain penguatan keamanan oleh lembaga kepolisian, yaitu program yang bisa mengubah kolektivisme eksklusif menjadi kolektivisme inklusif. Dengan begitu, konflik antarkelompok bisa berlangsung dinamis tanpa kekerasan. Lembaga-lembaga negara dari tingkat pusat dan daerah harus bekerja sama secara serius menciptakan program transformasi tersebut.

Beberapa bagian dalam program tersebut di antaranya sosialisasi pentingnya penggunaan mekanisme yudisial, pelatihan kepemimpinan dalam negara demokrasi bagi para pemimpin etnis (adat), dan pendidikan perdamaian untuk para pemuda. Namun program mentransformasi kolektivisme eksklusif tersebut harus dibarengi oleh komitmen negara dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sosial ekonomi. Pengangguran, kemiskinan, dan pendidikan yang rendah merupakan kondisi fundamental yang menyebabkan masyarakat sulit keluar dari kerangka kolektivisme eksklusifnya. Hal tersebut karena melalui kolektivisme eksklusiflah masyarakat miskin merasa bisa mengekspresikan frustrasinya secara kolektif. Maka, tanpa pembangunan sosial ekonomi yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan, kolektivisme eksklusif akan tetap kuat dalam sistem hidup masyarakat.

Pilkada di Papua, yang sudah merenggut korban jiwa sebagian masyarakatnya, merupakan bagian dari konflik yang dimobilisasi oleh kolektivisme eksklusif. Wilayah-wilayah lain yang memiliki model kolektivisme serupa, seperti Aceh dan Sulawesi, pada musim pilkada ini perlu diantisipasi serius oleh negara dengan mentransformasi kolektivisme eksklusif dalam masyarakat. Dengan demikian, pilkada bisa melahirkan proses konflik politik yang damai, aman, dan bermartabat.

*) Novri Susan, Sosiolog Konflik Universitas Airlangga, dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia

sumber: http://ramadan.tempointeraktif.com/hg/kolom/2011/08/10/kol,20110810-429,id.html

No comments:

Post a Comment