Tuesday, August 9, 2011

Presiden di Titik Nol Kekuasaan

Oleh Novri Susan (Sosiolog Unair dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia)

Ruang publik Indonesia mengalami eskalasi kegelisahan atas kondisi negara yang semakin parah karena digerogoti oleh jejaring parasit pembangunan, seperti mafia hukum, politikus korup, dan pejabat lemah integritas.
Jejaring parasit tersebut mengacak-acak sistem demokrasi melalui praktik suap, manipulasi hukum dan kebijakan negara. Salah satu tujuannya, mencuri kekayaan negara yang mestinya dimanfaatkan untuk pendanaan pembangunan nasional.

Pada kondisi ini, di manakah kekuasaan eksekutif presiden? Rakyat tak merasakan hadirnya presiden yang seharusnya mengoptimalkan sumber daya kekuasaan eksekutifnya untuk menyelamatkan negara dari jejaring parasit pembangunan. Rakyat melihat presiden seolah ada di titik nol kekuasaan. Tak bisa berbuat apa-apa; terlihat loyo di hadapan jejaring parasit pembangunan yang kian percaya diri menggerogoti negara.

Sosok pemimpin negara bisa disebut punya kekuasaan transformatif ketika tak ragu memanfaatkan sumber kekuasaannya untuk melakukan perubahan pada kondisi yang dianggap lebih ideal. Ketidakraguan itu diindikasikan oleh reproduksi praktik politik kreatif dan tegas untuk mencapai perubahan yang divisikan. Sumber-sumber kekuasaan transformatif presiden di Indonesia paling tidak bisa ditemukan dari konstitusi dan legitimasi pemilu. Kedua sumber kekuasaan presiden perlu diterjemahkan secara kreatif ke dalam praktik politik tegas menghadapi jejaring parasit pembangunan.

Berhadapan dengan jejaring parasit pembangunan seperti Nunun Nurbaeti atau Nazaruddin, misalnya, presiden bisa memandatkan secara tegas kepada Kapolri dan Ketua KPK untuk segera menangkapnya dengan batasan waktu yang jelas. Melalui sumber kekuasaan konstitusinya, presiden bisa memberi Kapolri dan Ketua KPK sanksi jika gagal melaksanakan mandat itu.

Praktik politik presiden tersebut tak boleh sekadar imbauan, tetapi merupakan praktik politik konkret dan ketegasan seorang pemimpin negara yang memiliki kekuasaan eksekutif. Selama ini, ketika dituntut mengoptimalkan kekuasaan eksekutifnya kepada kepolisian, kejaksaan, atau KPK, Presiden SBY justru menolaknya dengan alasan harus mengikuti prosedur, sesuai mekanisme lembaga, atau taat pada konstitusi.

Secara normatif alasan-alasan tersebut benar, tetapi salah besar pada perspektif evaluasi tentang konstitusional atau tidak dari praktik politik presiden. Fakta legalnya, kepala dari lembaga-lembaga hukum tersebut diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada kekuasaan presiden. Langkah menekan mereka sebagai permintaan pertanggungjawaban tugas dari presiden adalah konstitusional.

Tanpa demarkasi
Fred R Dallmayr (The Promise of Democracy, 2010) secara pedas mengatakan, kekuasaan yang dihasilkan oleh demokrasi sering kali gagal menyelamatkan kondisi negara karena tidak segera menciptakan demarkasi tegas terhadap kekuatan politik jahat. Akibatnya, kekuasaan demokrasi sesungguhnya dimuati dan dipengaruhi oleh kekuatan politik jahat yang licin dan gesit.

Pada kondisi tersebut, kekuasaan demokrasi hanya mampu menciptakan ilusi tanpa harapan bagi rakyatnya. Kekuasaan menabur janji manis untuk menenangkan kegelisahan rakyat. Namun negara tetap berada dalam keadaan lemah atau gagal menciptakan kemakmuran rakyat karena digerogoti kekuatan politik jahat yang menyatu dengan kekuasaan demokrasi. Melalui teori Dallmayr, tampaknya SBY tak mampu mempraktikkan kekuasaan transformatif karena tak punya demarkasi dengan kekuatan politik jahat, termasuk di dalamnya dengan jejaring parasit pembangunan.

Faktanya, pemerintahan SBY melakukan koalisi politik tidak berdasarkan pada kesamaan visi menciptakan negara kuat demokratis, tetapi sebagai hasil dari transaksi politik yang sarat skandal kekuasaan. Bagaimana mungkin presiden mempraktikkan kekuasaan transformatif jika di dalam lingkaran kekuasaannya tumbuh kuat jejaring parasit pembangunan? Pada realitas inilah presiden memang berada di titik nol kekuasaan eksekutif, yang tidak mampu menciptakan negara kuat dan demokratis.

Pada kenyataannya, kekuasaan hasil demokrasi Indonesia sekarang ini tak memiliki demarkasi dengan kekuatan politik jahat, bahkan jejaringnya menyatu dalam lingkaran kekuasaan. Upaya membangun demarkasi jelas membutuhkan improvisasi radikal praktik politik presiden.

Misalnya, presiden harus berani memberikan komando penindakan tegas para elite politik dan pejabat semua lembaga yang terindikasi melakukan praktik korupsi tanpa pandang bulu. Perlawanan pasti akan muncul, apalagi jika presiden dianggap punya dosa malapraktik kekuasaan selama periode pemerintahannya. Namun, demi kepentingan menyelamatkan negara, presiden seharusnya berdiri paling depan menghadapi segala risiko. (*)

Sumber: KOMPAS, 1 Agustus 2011 

No comments:

Post a Comment